Ringkasan: Ambar Dwi Suseno. E34102022. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh NAA (Naphthalene Acetic Acid) dan BAP (6-Benzylaminopurin) terhadap Pertumbuhan Pule Pandak (Rauvolfia serpentina Benth) Melalui Kultur Meristem. Dibawah bimbingan Ir. Edhi Sandra, M.Si. dan Dr Ir. Agus Hikmat, MSc.F.
Pule Pandak (Rauvolfia serpentina Benth) merupakan salah satu spesies tumbuhan yang mempunyai khasiat obat dan termasuk ke dalam tumbuhan yang langka di dunia. Tumbuhan ini dapat digunakan untk mengobati berbagai penyakit, diantaranya adalah penurunan tekanan darah, mempermudah persalinan, obat cacing, penurunan panas dan pereda kejang (Hargono et al, 1985).
Permintaan simplisia (bahan kering) yang berasal dari tumbuhan ini digunakan sebagai bahan baku obat tradisional terus meningkat dengan kecenderungan pertambahan sebesar 25,89% per tahun (Sandra & Kemala, 1994).
Keberadaan pule pandak sekarang ini di alam telah mengalami penurunan yang sangat drastic. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya kepunahan dari spesies ini, maka harus dicari teknik budidaya yang tepat untuk memproduksinya secara cepat dengan kualitas dan kuantitas yang baik.
Perbanyakan pule pandak dapat dilakukan melalui teknik kultur in-vitro. Salah satu tahapan dalam teknik kultur in-vitro adalah penggandaan tunas. Tunas yang digandakan dapat berasal dari tunas mikro hasil induksi meristem apikal sebagai sumber eksplan, sehingga disebut kultur meristem. Kelebihan kultur meristem adalah mampu menghasilkan bibit tanaman yang identik dengan induknya dan bebas virus. Rice et al., (1992) mengatakan bahwa kultur meristem mampu meningkatkan laju induksi dan penggandaan tunas, mampu memperbaiki mutu bibit yang dihasilkan serta mampu mempertahankan sifat-sifat morfologi yang positif.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh (ZPT) BAP dan NAA serta menentukan konsentrasi baik tunggal maupun kombinasi yang tepat untuk penggandaan tunas pada kultur meristem pule pandak.
Penelitian ini dilaksanakan di Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data primer dilaksanakan selama dua setengah bulan dari bulan September sampai pertengahan bulan November 2006.
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah MS (Murrashige & Skoog) yang telah dimodifikasi dengan penambahan Zat Pengatur tumbuh BAP dan NAA dengan konsentrasi 0 mg/l. 0.5 mg/l, 1 mg/l, 1,5 mg/l dengan pH 5.7. Media MS ini dibuat padat dengan menambahkan agar pada media.
Parameter-parameter dalam penelitian ini diarahkan pada pertumbuhan kalus, tunas dan daun. Pertumbuhan tunas meliputi jumlah dan tinggi tunas. Untuk pengamatan pertumbuhan eksplan, perlakuan dikombinasikan secara factorial dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 ulangan, setiap unit perlakuan menggunakan 4 botol kultur yang ditanaman 1 jaringan meristem untuk setiap botolnya. Sedangkan untuk pengamatan perbandingan hasil kultur meristem dengan tanaman induk menggunakan 3 ulangan, setiap unit perlakuan menggunakan 4 botol kultur, baik pada hasil kultur meristem maupun tanaman induk.
Pengamatan pertumbuhan eksplan dilakukan setelah seminggu penanaman terhadap parameter jumlah tunas, jumlah daun dan tinggi tunas, sedangkan pengamatan perbandingan antara hasil kultur meristem dengan tanaman induknya dilakukan pada akhir pengamatan. Untuk mengetahui pengaruh factor tunggal dan interaksi terhadap pertumbuhan eksplan maka dilakukan uji F, selanjutnya uji Duncan untuk mengetahui beda perlakuan dengan menggunan SAS ANOVA dan SPSS.
Pemberian zat pengatur tumbuh mendorong pertumbuhan kalus, tunas dan daun pada kultur meristem pule pandak, kecuali untuk perlakuan NAA secara tunggal hanya mampu menumbuhkan kalus saja, sampai akhir pengamatan dan control tidak mengalami pertumbuhan apapun. Sedangkan untuk pertumbuhan akar tidak dapat terjadi pada semua perlakuan, hal ini diduga pemberian BAP diserap sepenuhnya oleh eksplan sehingga menghambat pembentukan primordial akar.
Hasil uji Duncan menunjukan hasil rata-rata jumlah daun terbanyak yaitu pada perlakuan BAP 1mg/l NAA 0.5 mg/l yaitu 8.08 helai dan hasil terendah pada perlakuan BAP 0.5 mg/l NAA 1.5 mg/l yaitu sebanyak 2.58 helai. Kombinasi BAP 1 mg/l dan NAA 0.5 mg/l memiliki jumlah daun terbanyak yaitu sebesar 8.08 helai, hal ini diduga karena konsentrasi BAP dan NAA endogen dan eksogen berada pada kondisi supra optimal sehingga kombinasi ini efektif untuk menghasilkan daun. Hal ini sesuai dengan pendapat Minocha (1987) apabila kondisi auksin dan sitokinin endogen berada pada kondisi sub optimal maka diperlukan penambahan auksin dan sitokinin secara eksogen sehingga diperoleh perimbangan yang optimal.
Jumlah tunas terbanyak diperoleh pada kombinasi perlakuan BAP 1mg/l NAA 0.5 mg/l yaitu 3.21 buah. Dari hasil tersebut menggambarkan bahwa untuk membentuk tunas tidak hanya dibutuhkan BAP saja. Hal ini sesuai pendapat HU dan Hwang (1983) dalam Sukma (1994) bahwa untuk pertumbuhan dan pembentukan tunas dibutuhkan pula hormone auksin terutama untuk eksplan awal yang kecil, tapi bila tunas muda dapat memproduksi auksin secara aktif maka auksin eksogen tidak diperlukan lagi. Kemudian diperkuat lagi oleh Leopold (1949) dalam Gardener et al. (1991) yang menyatakan bahwa auksin mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan pucuk.
Tinggi rata-rata tunas terpendek masing-masing pada perlakuan adalah 0.67 cm untuk perlakuan tunggal BAP 1.5 mg/l, 0.70 cm untuk perlakuan kombinasi BAP 0.5 mg/l NAA 1.5 mg/l pada dan 0.91 cm untuk perlakuan kombinasi BAP 1 NAA 0.5. Perbedaan tunas terpendek antara perlakuan kombinasi BAP 0.5 mg/l dan BAP 1 mg/l diduga oleh kemampuan tunas dalam mensintesis NAA endogen sehingga konsentrasi NAA endogen dan NAA eksogen berada pada kondisi sub optimal, dimana pada perlakuan BAP 0.5 NAA 1.5 penambahan NAA eksogen terlalu tinggi tanpa di ikuti pemberian BAP eksogen yang cukup tinggi, sehingga diduga respon BAP untuk menumbuhkan tunas harus menunggu dulu keseimbangan NAA endogen dan eksogen, akibatnya terbentuklah kalus yang cukup besar sebagai akibat dari pemberian BAP yang relative kecil, maka sampai akhir pengamatan tunas yang terbentuk pendek. Lebih lanjut Suyadi et al, (2003) menyebutkan bahwa hal ini diduga akibat adanya hambatan pertumbuhan tunas aksiler sebagai akibat pertumbuhan tunas apical yang merupakan dampak dari pemberian NAA yang cukup tinggi.
Berdasarkan hasil pengukuran perbandingan hasil kultur meristem dengan tanaman induk didapati bahwa pada setiap parameter terjadi peningkatan 2 kali lipat dari sebelumnya (induknya). Lebih lanjut Rice et al,. (1992) mengatakan bahwa kultur meristem mapu meningkatkan laju induksi dan penggandaan tunas, mampu memperbaiki mutu bibit yang dihasilkan serta mampu mempertahankan sifat-sifat morfologi yang positif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan tunggal BAP dan NAA memberikan hasil pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan kombinasi BAP dan NAA, namun perlakuan kombinasi memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan perlakuan secara tunggal, terutama setelah minggu ke-3 penanaman. Jumlah daun dan tunas terbanyak diperoleh pada perlakuan BAP 1mg/l NAA 0.5 mg/l, sehingga hasil perlakuan inilah yang dapat dianjurkan untuk digunakan sebagai bibit tanaman dalam usaha pembudidayaan pule pandak, karena selain dapat menghasilkan jumlah tunas yang paling optimal kombinasi hasil kultur meristem ini telah mampu meningkatkan kualitas morfologi tanaman induk sebanyak 2 kali lipat.
Pule Pandak (Rauvolfia serpentina Benth) merupakan salah satu spesies tumbuhan yang mempunyai khasiat obat dan termasuk ke dalam tumbuhan yang langka di dunia. Tumbuhan ini dapat digunakan untk mengobati berbagai penyakit, diantaranya adalah penurunan tekanan darah, mempermudah persalinan, obat cacing, penurunan panas dan pereda kejang (Hargono et al, 1985).
Permintaan simplisia (bahan kering) yang berasal dari tumbuhan ini digunakan sebagai bahan baku obat tradisional terus meningkat dengan kecenderungan pertambahan sebesar 25,89% per tahun (Sandra & Kemala, 1994).
Keberadaan pule pandak sekarang ini di alam telah mengalami penurunan yang sangat drastic. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya kepunahan dari spesies ini, maka harus dicari teknik budidaya yang tepat untuk memproduksinya secara cepat dengan kualitas dan kuantitas yang baik.
Perbanyakan pule pandak dapat dilakukan melalui teknik kultur in-vitro. Salah satu tahapan dalam teknik kultur in-vitro adalah penggandaan tunas. Tunas yang digandakan dapat berasal dari tunas mikro hasil induksi meristem apikal sebagai sumber eksplan, sehingga disebut kultur meristem. Kelebihan kultur meristem adalah mampu menghasilkan bibit tanaman yang identik dengan induknya dan bebas virus. Rice et al., (1992) mengatakan bahwa kultur meristem mampu meningkatkan laju induksi dan penggandaan tunas, mampu memperbaiki mutu bibit yang dihasilkan serta mampu mempertahankan sifat-sifat morfologi yang positif.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh (ZPT) BAP dan NAA serta menentukan konsentrasi baik tunggal maupun kombinasi yang tepat untuk penggandaan tunas pada kultur meristem pule pandak.
Penelitian ini dilaksanakan di Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data primer dilaksanakan selama dua setengah bulan dari bulan September sampai pertengahan bulan November 2006.
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah MS (Murrashige & Skoog) yang telah dimodifikasi dengan penambahan Zat Pengatur tumbuh BAP dan NAA dengan konsentrasi 0 mg/l. 0.5 mg/l, 1 mg/l, 1,5 mg/l dengan pH 5.7. Media MS ini dibuat padat dengan menambahkan agar pada media.
Parameter-parameter dalam penelitian ini diarahkan pada pertumbuhan kalus, tunas dan daun. Pertumbuhan tunas meliputi jumlah dan tinggi tunas. Untuk pengamatan pertumbuhan eksplan, perlakuan dikombinasikan secara factorial dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 ulangan, setiap unit perlakuan menggunakan 4 botol kultur yang ditanaman 1 jaringan meristem untuk setiap botolnya. Sedangkan untuk pengamatan perbandingan hasil kultur meristem dengan tanaman induk menggunakan 3 ulangan, setiap unit perlakuan menggunakan 4 botol kultur, baik pada hasil kultur meristem maupun tanaman induk.
Pengamatan pertumbuhan eksplan dilakukan setelah seminggu penanaman terhadap parameter jumlah tunas, jumlah daun dan tinggi tunas, sedangkan pengamatan perbandingan antara hasil kultur meristem dengan tanaman induknya dilakukan pada akhir pengamatan. Untuk mengetahui pengaruh factor tunggal dan interaksi terhadap pertumbuhan eksplan maka dilakukan uji F, selanjutnya uji Duncan untuk mengetahui beda perlakuan dengan menggunan SAS ANOVA dan SPSS.
Pemberian zat pengatur tumbuh mendorong pertumbuhan kalus, tunas dan daun pada kultur meristem pule pandak, kecuali untuk perlakuan NAA secara tunggal hanya mampu menumbuhkan kalus saja, sampai akhir pengamatan dan control tidak mengalami pertumbuhan apapun. Sedangkan untuk pertumbuhan akar tidak dapat terjadi pada semua perlakuan, hal ini diduga pemberian BAP diserap sepenuhnya oleh eksplan sehingga menghambat pembentukan primordial akar.
Hasil uji Duncan menunjukan hasil rata-rata jumlah daun terbanyak yaitu pada perlakuan BAP 1mg/l NAA 0.5 mg/l yaitu 8.08 helai dan hasil terendah pada perlakuan BAP 0.5 mg/l NAA 1.5 mg/l yaitu sebanyak 2.58 helai. Kombinasi BAP 1 mg/l dan NAA 0.5 mg/l memiliki jumlah daun terbanyak yaitu sebesar 8.08 helai, hal ini diduga karena konsentrasi BAP dan NAA endogen dan eksogen berada pada kondisi supra optimal sehingga kombinasi ini efektif untuk menghasilkan daun. Hal ini sesuai dengan pendapat Minocha (1987) apabila kondisi auksin dan sitokinin endogen berada pada kondisi sub optimal maka diperlukan penambahan auksin dan sitokinin secara eksogen sehingga diperoleh perimbangan yang optimal.
Jumlah tunas terbanyak diperoleh pada kombinasi perlakuan BAP 1mg/l NAA 0.5 mg/l yaitu 3.21 buah. Dari hasil tersebut menggambarkan bahwa untuk membentuk tunas tidak hanya dibutuhkan BAP saja. Hal ini sesuai pendapat HU dan Hwang (1983) dalam Sukma (1994) bahwa untuk pertumbuhan dan pembentukan tunas dibutuhkan pula hormone auksin terutama untuk eksplan awal yang kecil, tapi bila tunas muda dapat memproduksi auksin secara aktif maka auksin eksogen tidak diperlukan lagi. Kemudian diperkuat lagi oleh Leopold (1949) dalam Gardener et al. (1991) yang menyatakan bahwa auksin mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan pucuk.
Tinggi rata-rata tunas terpendek masing-masing pada perlakuan adalah 0.67 cm untuk perlakuan tunggal BAP 1.5 mg/l, 0.70 cm untuk perlakuan kombinasi BAP 0.5 mg/l NAA 1.5 mg/l pada dan 0.91 cm untuk perlakuan kombinasi BAP 1 NAA 0.5. Perbedaan tunas terpendek antara perlakuan kombinasi BAP 0.5 mg/l dan BAP 1 mg/l diduga oleh kemampuan tunas dalam mensintesis NAA endogen sehingga konsentrasi NAA endogen dan NAA eksogen berada pada kondisi sub optimal, dimana pada perlakuan BAP 0.5 NAA 1.5 penambahan NAA eksogen terlalu tinggi tanpa di ikuti pemberian BAP eksogen yang cukup tinggi, sehingga diduga respon BAP untuk menumbuhkan tunas harus menunggu dulu keseimbangan NAA endogen dan eksogen, akibatnya terbentuklah kalus yang cukup besar sebagai akibat dari pemberian BAP yang relative kecil, maka sampai akhir pengamatan tunas yang terbentuk pendek. Lebih lanjut Suyadi et al, (2003) menyebutkan bahwa hal ini diduga akibat adanya hambatan pertumbuhan tunas aksiler sebagai akibat pertumbuhan tunas apical yang merupakan dampak dari pemberian NAA yang cukup tinggi.
Berdasarkan hasil pengukuran perbandingan hasil kultur meristem dengan tanaman induk didapati bahwa pada setiap parameter terjadi peningkatan 2 kali lipat dari sebelumnya (induknya). Lebih lanjut Rice et al,. (1992) mengatakan bahwa kultur meristem mapu meningkatkan laju induksi dan penggandaan tunas, mampu memperbaiki mutu bibit yang dihasilkan serta mampu mempertahankan sifat-sifat morfologi yang positif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan tunggal BAP dan NAA memberikan hasil pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan kombinasi BAP dan NAA, namun perlakuan kombinasi memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan perlakuan secara tunggal, terutama setelah minggu ke-3 penanaman. Jumlah daun dan tunas terbanyak diperoleh pada perlakuan BAP 1mg/l NAA 0.5 mg/l, sehingga hasil perlakuan inilah yang dapat dianjurkan untuk digunakan sebagai bibit tanaman dalam usaha pembudidayaan pule pandak, karena selain dapat menghasilkan jumlah tunas yang paling optimal kombinasi hasil kultur meristem ini telah mampu meningkatkan kualitas morfologi tanaman induk sebanyak 2 kali lipat.