Jati hasil kultur jaringan yang beredar saat ini dengan klon dari berbagai asal-usul di luar negeri, perlu dikaji lebih cermat karena pada umumnya klon yang berasal dari kultur jaringan bersifat site spesific, sehingga belum tentu cocok dikembangkan di setiap lokasi di Indonesia.
Perbanyakan secara kultur jaringan bukan merupakan metode pemuliaan, tetapi hanya merupakan suatu metode perbanyakan biasa sehingga tidak dapat memperbaiki kualitas genetik bibit. Oleh karenanya perlu didukung adanya uji klon unggul untuk skala operasional.
Oleh karena itu dalam program pengembangan jati diminta agar dilaksanakan koordinasi yang intensif dan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
- Penggunaan klon-klon jati lokal dengan jumlah (klon) yang lebih besar dan jelas asal-usulnya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di masa yang akan datang.
- Informasi yang tersebar tentang jati yang dapat dipanen pada umur 15 tahun, masih perlu dilakukan kajian lebih lanjut dari berbagai aspek antara lain aspek genetik. Sebab aspek genetik sangat berperan dalam meningkatkan kualitas dan produktivitas tanaman melalui uji genetik. Untuk itu perlu dilakukan plot uji coba genetik pada setiap lokasi pengembangan yang akan dilakukan dan dapat dimonitor serta diamati perkembangannya. Perlu diinformasikan bahwa Badan Litbang Kehutanan sedang melakukan uji coba genetik jati dari berbagai sumber/provenance.
- Di samping faktor genetik, manipulasi faktor lingkungan seperti jarak tanam, pemupukan, pemeliharaan, pola tanam dan lain-lainnya merupakan hal penting yang harus dilakukan dan ternyata memberikan hasil yang signifikan.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, apabila ada hal-hal yang perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi Badan Litbang Kehutanan c.q. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta.
Sumber : Surat Edaran Kabadan Litbang Kehutanan No. 1982/VIII/Lit-3/2002 tanggal 11 Desember 2002, Dephu.go.id.
Foto : Tanaman Jati hasil kutur jaringan. eshaflora.com